Di Bali masih ada nama Igor Tamerlan.
Seniman musik idealis ini bahkan sedang berkreasi lebih maju, membuat
apa yang disebutnya techno gong. Wujudnya berupa alat musik berbentuk
vibes atau kolintang besi tapi electric dan setengah synthesizer. Alat
ini masih harus disempurnakan lagi, seperti penuturan Igor Tamerlan
sendiri. Sementara proyek rekaman kontemporernya tengah dijajaki lagi,
dan tetap berdekatan dengan aroma etnik Bali. Sekedar mengingatkan, pada
awal 90-an, Igor pernah melejit dengan Bali Vanilli, yang berbau rap
dan bercerita tentang turis asing dan Bali. Dan dari Pulau Dewata masih
ada juga, I Wayan Balawan. Solois dengan dua gitar yang barusan tour di
Eropa. Ia juga mempunyai kelompok musik etnik, Batuan Etnik Fusion. Di
sana fusion dipadukan dengan musik tradisi Bali. Dari generasi muda
musisi kita, boleh dicatat olah kreasi Tipe-X yang pernah mengajak
Bandung Percussion Society untuk tampil di salah satu acara di stasiun
teve swasta. Atau Naif, yang sampai mengajak orkes tanjidor terlibat
dalam rekaman bahkan konser mereka nanti 25 Oktober 2000.
Cuplikan wawancara seorang wartawan Bali Post dengan Belawan mengutarakan pandangannya terhadap world music
karena dia telah banyak menggeluti bidang spiritual, mau tidak mau,
akhirnya musik saya juga sangat berdampingan dengan hal-hal atau nuansa
spiritual. Musik dan spiritual itu sama. Menyuguhkan suatu musik, sama
dengan mantra. Untuk pembuatan musik dimotivasi dari konsep Tri Hita
Karana. Hal ini dilakukan dengan cara tidak sengaja, baik dalam membuat
musiknya, liriknya, atau yang lainnya. Intinya, musik Belawan lebih
banyak mengarah ke kemanusiaan. World music adalah musik yang mengarah
ke universalitas, global, cinta, dan kemanusiaan.
Gede Yudana tahun 1990-an sudah mulai
menggarap musik komputer. dia lebih populer negeri orang dari pada di
Bali sendiri. Berbagai karya yang lahir dari hasil kontemplasinya, tidak
terlepas dari pengalaman pribadinya sebagai orang Bali, walaupun
kadangkala terlepas dari semuanya itu, toh rasa ke-Baliannya masih
melekat dalam dirinya. Kadek Suardana seorang pelaku teater di Bali
bergelut dengan Roland sintasizer E 86 bergelut memasukan berbagai unsur
musik Bali dalam berbagai garapannya. Hasil yang didapat dengan
pengolahan komputer menggunakan sofware cakewalk 8, Suardana telah
menempatkan diri sebagai seorang musisi yang cukup handal. Berbagai
alasan yang keluar dari pengakuan Yudana dan Suardana adalah efisiensi
dalam berbagai karya cukup dipikirkan oleh sendirian saja, tanpa
mengeluarkan biaya banyak untuk latihan.
Dalam berbagai kesempatan Suardana
tampil dengan sistem live dimana rolandnya tidak pernah tertinggal.
Pementasan musik live yang dibawakannya dengan membawa berbagai atribut
seni tradisional yang dikemas cukup baik. Di sisi lain I Ketut Lanus
berpendapat bahwa bermain dengan menggunakan format tekno akustik baik
secara dubing maupun lipsing, sangatlah mudah untuk dilaksanakan dari
pada bermain musik tekno akustik secara live karena berdasatkan
hitungan. Lanus berpendapat jikalau bermain dengan DJ maka yang
seharusnya menyesuaikan adalah sang DJ bukannya instrumen musik akustik.
Namun dari berbagai pernyataan yang keluar, satu hal yang seragam
adalah pendapatan secara finansial jauh lebih besar dibandingkan dengan
bermain musik tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar